Paus XIV: Mari Kita Bangun Gereja yang Lebih Rendah Hati dan Lebih Ramah

Paus Leo memimpin Misa Kudus untuk Yubileum Tim Sinodal dan Badan Partisipatif
Share :

KOTA VATIKAN (parokiwaning) – Berbicara kepada para anggota Tim Sinode dan Badan Partisipatif, Paus Leo mendorong setiap orang untuk merendahkan hati seperti pemungut cukai dalam perumpamaan Injil dan menemukan persatuan di tengah ketegangan di dalam Gereja.

Jurnalis Vatican News, Kielce Gussie melaporkan, dalam Misa Yubileum Tim Sinode dan Badan Partisipatif di Basilika Santo Petrus, Paus Leo XIV mengajak semua peserta untuk merenungkan “misteri Gereja.”

Ia mengingatkan mereka bahwa Gereja bukan sekadar lembaga keagamaan dengan hierarki dan struktur. Sebaliknya, Gereja adalah “tanda nyata persatuan antara Allah dan manusia”, di mana Allah mempersatukan semua orang sebagai satu keluarga yang dipersatukan dalam kasih.

Dengan merenungkan arti persekutuan gerejawi—yang diciptakan dan dipelihara oleh Roh Kudus—Paus menjelaskan bahwa kita dapat mulai memahami apa itu tim sinode dan badan partisipatif.

“Mereka mengungkapkan apa yang terjadi di dalam Gereja, di mana hubungan tidak merespons logika kekuasaan melainkan logika kasih,” tegasnya, seraya menekankan bahwa hal terpenting dalam komunitas Kristiani adalah kehidupan rohani.

 

Kasih Adalah Aturan Tertinggi

Di atas segalanya, Paus Leo mendesak semua peserta untuk mengingat bahwa kasih adalah aturan tertinggi dalam Gereja. “Tidak seorang pun dipanggil untuk mendominasi; semua dipanggil untuk melayani,” jelasnya, “Tidak seorang pun dikecualikan; kita semua dipanggil untuk berpartisipasi.”

Oleh karena itu, kita semua dipanggil untuk mencari seluruh kebenaran bersama. Ajakan untuk “bersama” ini menegaskan kembali panggilan untuk persekutuan di dalam Gereja.

Mengutip kata-kata pendahulunya, Paus Fransiskus, dalam pesan Prapaskah terakhirnya, Bapa Suci merenungkan gagasan “berjalan bersama”. Paus asal Argentina itu menekankan bahwa “umat Kristiani dipanggil untuk berjalan bersama orang lain, dan bukan sebagai pengembara yang sendirian.”

 

Bersama Tetapi Sendirian

Panggilan untuk berjalan bersama, tegas Paus Leo, adalah apa yang tidak dimiliki oleh orang Farisi dan pemungut cukai dalam perumpamaan Injil. Meskipun berada di tempat yang sama, mereka terpisah dan tidak berkomunikasi.

“Keduanya menempuh jalan yang sama, tetapi mereka tidak berjalan bersama. Keduanya berdoa kepada Bapa, tetapi tanpa menjadi saudara dan tanpa memiliki kesamaan apa pun.”

Paus menjelaskan bahwa pemisahan ini terutama bermula dari sikap orang Farisi tersebut karena doanya, “meskipun tampaknya ditujukan kepada Tuhan, hanyalah sebuah cermin tempat ia memandang, membenarkan, dan memuji dirinya sendiri.”

Ia merasa lebih unggul daripada pemungut cukai dan memandang rendah dirinya. Dengan demikian, ia berfokus pada dirinya sendiri alih-alih pada hubungannya dengan Tuhan dan sesama.

Paus Leo memperingatkan, hal ini dapat terjadi dalam komunitas Kristiani. Ketika ego menguasai komunitas, yang mengarah pada individualisme yang membuat hubungan persaudaraan sejati menjadi mustahil.

Hal ini juga dapat terjadi ketika seseorang merasa dirinya lebih baik daripada orang lain.

Namun, lanjutnya, alih-alih berfokus pada orang Farisi, kita seharusnya memandang pemungut cukai. Kerendahan hatinya mengingatkan kita bahwa di dalam Gereja, kita semua membutuhkan Tuhan dan satu sama lain.

Kita perlu mendengarkan dan mengasihi satu sama lain serta menikmati kebersamaan karena Kristus milik orang yang rendah hati.

 

Kesatuan Di Tengah Ketegangan

Paus Leo menyoroti bagaimana tim sinode dan badan partisipatif merupakan gambaran Gereja yang hidup dalam persekutuan satu sama lain. Dengan mendengarkan Roh Kudus dengan rasa dialog, persaudaraan, dan parrhesia (menyampaikan kebenaran secara terbuka dan berani), kita dapat menanggapi panggilan untuk berjalan bersama mencari Tuhan.

Paus menjelaskan bahwa jika kita menolak klerikalisme dan kesombongan, kita dapat menciptakan Gereja yang lebih ramah dan kolegial.

Dengan pendekatan ini, kita dapat hidup dengan percaya diri di tengah ketegangan di Gereja—kesatuan dan keberagaman, tradisi dan kebaruan, otoritas dan partisipasi.

“Ini bukan soal menyelesaikan [ketegangan] dengan mereduksi satu sama lain, melainkan membiarkannya dimurnikan oleh Roh, sehingga dapat diselaraskan dan diarahkan menuju kearifan bersama,” tegas Bapa Suci.


Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *